Jumat, 25 Oktober 2013

Kupinjami


Ingin kupinjami kau nadiku
Agar kau rasai bagaimana denyutnya mengejamu
Biar kupinjami kau jantungku
Agar kau hitung detaknya yang tiba-tiba lebih cepat dari biasanya
Lalu kupinjami kau nafasku
Agar kau tahu nafasku belum juga lelah
Juga kupinjami kau hatiku
Agar kau baca sendiri cara ia mengabjadkanmu
Atau kupinjami kau segalanya saja
Mata, telinga, mulut, dan rasaku
Agar padaku tak tersisa apa-apa lagi tentangmu

Lalu kubawakan untukmu segenggam tanah
Yang kutanami benih rindu sejak seribu tahun lalu
Kusemai dengan bibit yang kucuri dari surga


Jumat, 20 September 2013

Serpih Kedua


                                                                             Malang, 20 September 2013

01:12  pagi, saat alarm dan dengkur beradu bunyi



Wa’alaikissalam warahmatullah wabarakatuh

Salam hangat dari jiwa saya yang paling Hawa untukmu mbak I’ah cantik…



          Mbak Iah, ini surat pertama yang saya tulis sejak sekian lama korespondensi bukan lagi sebuah hobi. Sungguh saya tak tahu bagaimana saya harus memulai surat pertama saya. Mungkin ibarat kencan pertama, saya sedang salting njeh mbak, ^_^

          Sejak beberapa hari yang lalu, saya hanya berfikir tentang apa yang akan saya tulis. Jadi saya memohon maaf terlebih dahulu karena akhirnya saya tak menulis apa pun.

          Tapi pada detik dimana Mbak Iah mulai membaca pada petikan ini, “Saya akan memulai dari kata KITA”. Kita dibentuk dari dua buah pronomina persona aku dan kamu. Mendefinisikan makna jamak yang tak terpisahkan. “Kita” menjadi sebuah konsep ittihad versi Musthofa al Ghalayain yang membentuk kesatuan a’mal (ilmu, nasyath, ittihad, nidhom) yang mendidik manusia bermanuver ke arah yang progresif. A’mal  inilah yang menjadi barometer kaum muslimin dapat dikatakan maju. Berangkat dari sini, saya sangat berharap kegiatan ini menjadi awal yang baik yang akhirnya menjadi bentuk jihad yang haqq. Amiinn J

Untuk Mbak Iah yang selalu cantik di mata saya, tak ada yang lebih berharga dari memiliki seorang karib yang bisa saling memberi wasiat dalam kebenaran dan kesabaran agar kita bukan termasuk orang-orang yang merugi.



Tentang kata ; sebuah pengantar

Saya selalu sulit dan takut memulai. Apapun itu –seperti memulai untuk menulis. Ketika saya mencoba memulai, selalu muncul banyak pertanyaan yang mengusik kesempatan saya dalam memulai, “How should I be?”, “How can I be?”, “How do I look?”, dan pertanyaan-pertanyaan lain yang lahir kemudian. Saya sesungguhnya tak perlu jawaban, karena ternyata bukan itu yang saya inginkan.

Saya percaya pepatah yang berbunyi, “Setiap orang dapat mengenali dirinya sendiri dengan menulis“. Maka jawabannya terletak pada diri kita sendiri. Sekarang saya memiliki pertanyaan, pernahkah kita mengalami percakapan antara dua ego yang berbeda dalam satu jiwa? Semacam alter ego yang terjadi secara alami pada diri kita. Seorang kawan pernah berkomentar bahwa hal semacam ini kerap terjadi pada orang-orang introvert, orang-orang yang memiliki gambaran tentang dunianya sendiri. Saya –akhirnya mengaku- bahwa saya introvert.

Dalam hal menulis, saya sama sekali tak pandai, apalagi lihai. Ketakutan saya terletak pada sebuah kata –sungguh, buktinya ide saya selalu ngadat ketika diserupakan menjadi tulisan dan berhadapan dengan kertas kosong-. Tapi jika ternyata kata adalah musuh saya yang paling saya takuti, maka saya hendak menggaulinya, mengenalinya, lalu menaklukkannya. Teringat kata-kata Ibnu Jinni, “Sungguh aku tak takut pada beribu musuh dengan pedang yang tajam. Aku pun tak takut dengan api yang menyala-nyala, bahkan pada bah air yang membadai. Yang amat kutakuti adalah sebuah kata”. Sayangnya saya bukanlah Ibnu Jinni.

Bicara soal kata, dulu saya tak benar-benar percaya bahwa sebuah kata bisa memberikan pengaruh yang besar. Ternyata saya salah besar, rupanya hanya dengan sebuah kata bisa memporak-porandakan sebuah sistem, mengaduk rasa, melunturkan ego, menawar prinsip, melumpuhkan dan mengekalkan –mengingat pernyataan Derrida, “Saya tak percaya orang hidup-terus post-mortem. Tapi kata-kata yang diutarakannya, yang ditulisnya, hidup-terus, survivre,”.

Pada kesempatan lain, sang filsuf besar ini mengeluarkan statemen pada sebuah wawancara –yang dipetik Goenawan Mohamad sebagai sebuah pengantar maha karya Muhammad Al Fayyad, Derrida- mengenai kekuatan kata –tulisan :

“bahwa ketika seseorang menulis sebuah buku untuk masyarakat luas, ia tak tahu kepada siapa ia bicara, orang akan menilai secara garis besarnya, tapi hal itu bukan lagi diperuntukkan bagi si penulis. Kata-tulisan itu bekerja mandiri layaknya mesin atau boneka, memisahkan diri dari penulisnya, menjadi jejak hingga akhir hayatnya, menandai kematiannya, namun juga mengabadikan namanya bahkan setelah kematian”.

Kata-kata terakhir Derrida yang saya rasa paling rasional tentang kekekalan hidup seorang penulis adalah, “Ini bukan ambisi, ini struktural”. Artinya seorang penulis dan kegiatan menulis akan membangun sebuah pola strutural yang mana tulisan itu bermetamorfosis menjadi makhluk mandiri. Dalam kalimatnya, Pramoedya juga menuturkan hal yang sama –terlepas dari segala bentuk tuntutan moral yang disepakati manusia sebagai makhluk berakal.

Saya sangat setuju dengan Mbak Iah bahwa sebuah karya mampu mengukir peradaban emas. Ia mengalir seperti air, bermuara kearah tak terduga, menjadi penanda pada apa yang tak terlihat oleh mata, menembus ruang dan sekat-sekat masa depan, menghadirkan dan melenyapkan. Begitulah kekuatan sebuah kata.

Demikian prakata yang dapat saya tulis. Jika saya boleh meminjam cemburu Aisyah pada Khadijah, maka engkaulah Khadijah yang kucemburui sekalipun kita tak bermadu dalam semasa.

Tabarakallah, salam dan do’a untuk Mbak Iah, :)

                                                         

                                                           Wassalam

                                                           Siti Zahrotun Nisa BintZein

Senin, 16 September 2013

ِAffirmez La Survie "Derrida"


"الحيّ" عند جاكويس دريدا; صورة عاكسة
       
        ما غرُب اسم جاكويس دريدا Jacques Derrida”  في الحولة الفلسفية التي تطوّرت بيننا. هو الفلسوف المشهور الذي نشأ حتّى القرن العاشرين في الرابع بعد سنة ألفين م، بل اشتهرت فكرته بعده في قضية اللغويين خاصة حول علماء الرموز عن مبحث السيميوتيقا لأنّ له نظرية التفكيك (بالفاء المسكونة و كسرة الكاف الأولى –تابع وزن "تفعيلا")، هي نظرية عرّفـــــــــــها دريدا تبحث عن الرمز و النص (محمد الفياد:2005). و لكنّ الأهم، ألا ينبغي أن نعرف على أنّ سيرته كالمؤلف و نلتفت كلامه الإلهامي عن "الحيّ".
 كليمات جاكويس دريدا تصل إلينا أمّا المرء كتب الكتاب للقراء المنتشرين، ما عرف لمن تكلّم و هم يوصفونه بصفة عامة و لكنّه ليس له، بل للمكتوب به. يفعل بنفسه كالماكينة –المكتوب متفرق بالمؤلف- "حين ما كتابي مطبوع، كأنّني غائب و حاضر. الأثر الذي تركته يرمّز موتي. هذا ليس هويّا لأحي بقاءً، و لكنّ هذا تركيبي (struktural)". (ملخّص تسجيل قول جاك دريدا الأخير قبل موته بجريدة Le Monde في أغسطس 2004 م). ثمّ ما الذي نأخذ الحكمة منه؟ فليكن معلوما أنّ كلّ مؤلف يلزم بكتابته بين كثير من الناس، حاضرا كان أو غائبا بينهم. و للمكتوبات بقاء حيّ المؤلف بين لدي الناس حتّى بعد موته، -هذا يقصد دريدا بقوله "[1]affirmez la survie"- ثمّ من يَعْرِف إلى أين تذهب كلمات المرء المكتوبة؟ لا أحد منّا نعرف كيف تكون حيّة في مكان آخر لأنّها متفرّقة بمؤلفها.
إذا نقتبس مصطلح دريدا أنّ في الكتابة قوّة المعنى في الكلمة و في الحرف و حيّ لو توفّي المؤلّف. فلكي تكون هذه الصورة العاكسة تصويرا للقراء عن احساس الكتابة و عن أهمّيتها في بُعْدِ الحياة حيث أنّ الكاتبة لم تبلغ أهلا و ماهرا في حولة كتابية.


[1]  المصطلح ل"فيرري دريدا بن جاكويس دريدا" الذي أتركه أبوه و كان أقرأه في المقبرة بفارس عند الخريف 2004 م

Senin, 09 September 2013

Serpih Pertama



Semarang, 9 September 2013
Kagem; Mba Nisa’, Sahabat ku tersayang

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarokatuh.
                Alhamdulillah segala syukur terhatur pada Dzat pemberi cinta, Dzat yang selalu memeluk erat setiap hamba meski dirinya sering terlelap dalam ketaksadaran. Shalawat bertangkaikan salam semoga tetap tercurah pada sang penyekat awan jahiliyah beliaulah Nabi Muhammad SAW, pada beliau kita mencontoh segala sikap dan spirit untuk terus berkarya.
                Berkarya tak selalu dalam bentuk tulisan tapi lebih dari itu. Banyak aspek yang menjadi wadah untuk menyalurkan segenap respon yang kita fahami atas tafsir kehidupan. Karya tersebut bisa terejawantahkan dalam bentuk sikap, perbuatan, dan tulisan. Sedangkan bentuk terakhir inilah yang turut berkontribusi pada zaman keemasan Islam. Aktivitas ini pula yang telah menjadikan para ulama terdahulu masih hidup di tengah-tengah kita. Jasanya masih mengabadi lintas generasi dan sepanjang masa. Lebih dari itu, berkarya hemat saya adalah bagian dari bagaimana kita mensyukuri hidup ini.
Iftitah
                Berawal dari kegelisahan saya menyampaikan maksud baik qlo pada Njenengan (Nje) Mba Nisa, yaitu untuk mengawal hari depan dengan “Program Pacaran” ini. Hehe. Lucu njeh Mba?. Tidak lain akar dari maksud baik qlo adalah dari satu kata kunci, ‘Keyakinan’. Yah, saya yakin dengan aktivitas kita ini, nantinya pasti akan memberi keberkahan yang tak terduga. Bahasa lainnya adalah keajaiban. Karena keajaiban itu sendiri adalah gerak langkah nyata untuk terus mendayagunakan potensi yang telah Allah titipkan. Selain itu, juga bermula dari keresahan tentang out-put yang selama ini qlo dapatkan dari bangku kuliah. Semakin saya berfikir lebih dalam, menulis adalah jawaban untuk mengais hikmah dari pejalanan spiritual ini.  
                Kalau boleh jujur, sebenarnya qlo minder dengan Nje Mba. Saya belum bisa menulis secakap dan sebaik Nje. Saya tidak sehebat dan secerdas Nje. Jika saya membayangkan sosok sayyidah Aisyah, bagi saya pean sudah representatif Mba, hehe. Niki gombal njeh Mba? Saestu mboten koq Mba. Qlo akui bahwa Nje itu memang perempuan cerdas yang berani berfikir kreatif. Berbeda dengan saya Mba. Saya perempuan biasa yang ndak dinamis kecuali kalau dapat stimulus dari luar. Demikian pun sifatnya fluktuatif Mba. Tapi akhirnya saya menepis semua perasaan yang tiada ujungnya demi satu visi misi besar yakni saling belajar. Sebagaiamana yang kita tahu, likulli nas maziyyah. Begitu pula Allah menciptakan setiap makhluk-Nya untuk saling melengkapi njeh Mba?.
                Di samping itu, harapan qlo dengan adanya program kita ini tidak mengganggu proses perkuliahan dan hal penting lainnya yang wajib kita prioritaskan. Oleh karena itu sifatnya fleksibel. Tidak boleh dipaksakan. Tapi lebih pada adanya komitmen bersama. Sehingga yang lahir bukanlah rutinitas yang membosankan tapi menyenangkan. Bukan kewajiban tapi kebutuhan. Bagaikan kebutuhan kita pada nutrisi dan vitamin. Maka jika tanpa itu hidup jadi kurang sehat njeh Mba. Sedangkan muatan dari setiap surat yang kita kirim tentunya tidak dibatasi dari persoalan apapun, dari ide apapun dan dari arah mana pun. Simpelnya, sharing bersama dan have fun terkait hal yang menarik dan lain hal yang ingin kita diskusikan. Berhubung saya penulis pemula jadi mohon maaf sebelumnya jika nanti tulisan qlo hanya sederhana njeh Mba, J
                A.S Laksana sering mendeklarasikan bahwa Penulis yang baik adalah pembaca yang baik. Dari statmen tersebut sebenarnya kita di ajak untuk aktif membaca dan menulis. Jadi membaca dan menulis merupakan satu paket aktivitas yang tak bisa dipisahkan. Kebermanfa’atan membaca selalu berbanding lurus dengan intensitas menulis. Tapi, dalam kesempatan lain Laksana pun menegaskan yang bisa sarikan dengan “Menulis Jelek tidak masalah dari pada tidak menulis sama sekali”. Saya yaki formula tersebut muncul dari pemahannya atas semua keberlangsungan dalam kosmos ini membutuhkan proses. Proses tertatih-tatih, proses kembali mengeja aksara, proses kembali bangkit dan berdiri untuk ke sekian kalinya dsb. Karena Jiwa pemenang adalah mereka yang bermental baja tidak kenal putus asa.
Tentang Ibu
                Pada kesempatan awal ini saya ingin memulai dari satu sumber energi sakti yang tidak pernah sirna dan purna. Selalu mematahari dan mempurnama. Narasi tentang Beliau pun bagaikan air lautan yang begitu luas tak bertepi.
                Suatu ketika beliau menceritakan tentang satu bentuk pengabdian dalam membangun keluarga yang harmoni. Hidup dengan finansial yang pas-pas an dan bekal seadanya Beliau lalui dengan mengawali hari sedini mungkin. Tepat pukul dua pagi Beliau sudah mulai bertandang menyelesaikan seluruh aktivitas dan pekerjaan rumah. Mencuci pakaian, mencuci piring, mengelap debu, menyapu alas rumah yang berlantaikan tanah hingga selalu ada pisau di samping sapu untuk mencukil sekelumit kotoran jikalau ada yang bertempat di sudut ruangan. Selepas subuh mulai memandikan tiga buah hati yang masih kecil-kecil. Karena dalam tempo lima tahun kami dari tiga bersaudara telah lahir dan bersentuhan dengan jagat raya ini.
                Sepenggal perjuangan tersebut begitu menginspirasi. Beliau mengajari saya betapa pentingnya arti kerja keras, disiplin dan tanggung jawab. Secara otomatis sudah selayaknya saya sebagai Mahasiswa yang mempunyai sederet tugas dapat mencontoh perjuangan tersebut. Makalah dapat diselesaikan tepat waktunya bukan mepet. Tepat berarti mempunyai persiapan yang matang untuk mempresentasikan atas ide-ide dan data yang telah terinventarisir dalam sebuah makalah. Tapi sayangnya mepet lebih dekat dengan qlo Mba. Kalau deadline belum di depan mata maka yang ada hanyalah bayang ilusi keni’matan menunda dan berleha-leha. Maka dengan pemahaman ini semoga selanjutnya bisa menjadikan qlo lebih bisa mengoptimalkan kesempatan dan waktu seefektif dan seefesiensi mungkin.
                Kita sebagai perempuan menertibkan pekerjaan rumah tentunya merupakan harga mati yang tak bisa di tawar. Dimana peran seorang wanita begitu vital dalam hal ini. Bukan bermaksud menafikan peran perempuan dalam ranah publik atau mendiskreditkan keberadaan perempuan tapi lebih pada bagaimana kita bisa seimbang untuk go public dan menjaga keharmonisan keluarga. Terlebih dalam hal mengasuh putra-putri. Domain ini menjadi poin penting demi tumbuh kembang psikologi anak. Karena kita tidak ingin melewatkan momentum tersebut. Dimana Kebersamaan dengan keluarga adalah kado terindah bagi setiap kita.
                Jika Nabi Muhammad memiliki management dan leadership yang baik terbangun dari kesempatan menggembala kambing. Maka saya kira kita sebagai perempuan bisa merengkuh hal tersebut dengan menjadikan ‘pekerjaan rumah’ sebagai mediasi. Media membangun kedewasaan dan kematangan secara intelektual, emosional dan spiritual. Dimana dibutuhkan kerja cerdas agar menghasilkan kualitas.
                Mba Nisa,, inilah sedikit curahan hati qlo kali ini. Semoga selanjutnya bisa lebih renyah njeh Mba. He. Kurang lebihnya mohon maaf. Terima kasih untuk semuanya. Teriring doa jazakumullah ahsanal Jaza, Jazakumullah khoiron katsiro.
Wassalamu alaikum warahmatullahi wabarokatuh.