Jumat, 20 September 2013

Serpih Kedua


                                                                             Malang, 20 September 2013

01:12  pagi, saat alarm dan dengkur beradu bunyi



Wa’alaikissalam warahmatullah wabarakatuh

Salam hangat dari jiwa saya yang paling Hawa untukmu mbak I’ah cantik…



          Mbak Iah, ini surat pertama yang saya tulis sejak sekian lama korespondensi bukan lagi sebuah hobi. Sungguh saya tak tahu bagaimana saya harus memulai surat pertama saya. Mungkin ibarat kencan pertama, saya sedang salting njeh mbak, ^_^

          Sejak beberapa hari yang lalu, saya hanya berfikir tentang apa yang akan saya tulis. Jadi saya memohon maaf terlebih dahulu karena akhirnya saya tak menulis apa pun.

          Tapi pada detik dimana Mbak Iah mulai membaca pada petikan ini, “Saya akan memulai dari kata KITA”. Kita dibentuk dari dua buah pronomina persona aku dan kamu. Mendefinisikan makna jamak yang tak terpisahkan. “Kita” menjadi sebuah konsep ittihad versi Musthofa al Ghalayain yang membentuk kesatuan a’mal (ilmu, nasyath, ittihad, nidhom) yang mendidik manusia bermanuver ke arah yang progresif. A’mal  inilah yang menjadi barometer kaum muslimin dapat dikatakan maju. Berangkat dari sini, saya sangat berharap kegiatan ini menjadi awal yang baik yang akhirnya menjadi bentuk jihad yang haqq. Amiinn J

Untuk Mbak Iah yang selalu cantik di mata saya, tak ada yang lebih berharga dari memiliki seorang karib yang bisa saling memberi wasiat dalam kebenaran dan kesabaran agar kita bukan termasuk orang-orang yang merugi.



Tentang kata ; sebuah pengantar

Saya selalu sulit dan takut memulai. Apapun itu –seperti memulai untuk menulis. Ketika saya mencoba memulai, selalu muncul banyak pertanyaan yang mengusik kesempatan saya dalam memulai, “How should I be?”, “How can I be?”, “How do I look?”, dan pertanyaan-pertanyaan lain yang lahir kemudian. Saya sesungguhnya tak perlu jawaban, karena ternyata bukan itu yang saya inginkan.

Saya percaya pepatah yang berbunyi, “Setiap orang dapat mengenali dirinya sendiri dengan menulis“. Maka jawabannya terletak pada diri kita sendiri. Sekarang saya memiliki pertanyaan, pernahkah kita mengalami percakapan antara dua ego yang berbeda dalam satu jiwa? Semacam alter ego yang terjadi secara alami pada diri kita. Seorang kawan pernah berkomentar bahwa hal semacam ini kerap terjadi pada orang-orang introvert, orang-orang yang memiliki gambaran tentang dunianya sendiri. Saya –akhirnya mengaku- bahwa saya introvert.

Dalam hal menulis, saya sama sekali tak pandai, apalagi lihai. Ketakutan saya terletak pada sebuah kata –sungguh, buktinya ide saya selalu ngadat ketika diserupakan menjadi tulisan dan berhadapan dengan kertas kosong-. Tapi jika ternyata kata adalah musuh saya yang paling saya takuti, maka saya hendak menggaulinya, mengenalinya, lalu menaklukkannya. Teringat kata-kata Ibnu Jinni, “Sungguh aku tak takut pada beribu musuh dengan pedang yang tajam. Aku pun tak takut dengan api yang menyala-nyala, bahkan pada bah air yang membadai. Yang amat kutakuti adalah sebuah kata”. Sayangnya saya bukanlah Ibnu Jinni.

Bicara soal kata, dulu saya tak benar-benar percaya bahwa sebuah kata bisa memberikan pengaruh yang besar. Ternyata saya salah besar, rupanya hanya dengan sebuah kata bisa memporak-porandakan sebuah sistem, mengaduk rasa, melunturkan ego, menawar prinsip, melumpuhkan dan mengekalkan –mengingat pernyataan Derrida, “Saya tak percaya orang hidup-terus post-mortem. Tapi kata-kata yang diutarakannya, yang ditulisnya, hidup-terus, survivre,”.

Pada kesempatan lain, sang filsuf besar ini mengeluarkan statemen pada sebuah wawancara –yang dipetik Goenawan Mohamad sebagai sebuah pengantar maha karya Muhammad Al Fayyad, Derrida- mengenai kekuatan kata –tulisan :

“bahwa ketika seseorang menulis sebuah buku untuk masyarakat luas, ia tak tahu kepada siapa ia bicara, orang akan menilai secara garis besarnya, tapi hal itu bukan lagi diperuntukkan bagi si penulis. Kata-tulisan itu bekerja mandiri layaknya mesin atau boneka, memisahkan diri dari penulisnya, menjadi jejak hingga akhir hayatnya, menandai kematiannya, namun juga mengabadikan namanya bahkan setelah kematian”.

Kata-kata terakhir Derrida yang saya rasa paling rasional tentang kekekalan hidup seorang penulis adalah, “Ini bukan ambisi, ini struktural”. Artinya seorang penulis dan kegiatan menulis akan membangun sebuah pola strutural yang mana tulisan itu bermetamorfosis menjadi makhluk mandiri. Dalam kalimatnya, Pramoedya juga menuturkan hal yang sama –terlepas dari segala bentuk tuntutan moral yang disepakati manusia sebagai makhluk berakal.

Saya sangat setuju dengan Mbak Iah bahwa sebuah karya mampu mengukir peradaban emas. Ia mengalir seperti air, bermuara kearah tak terduga, menjadi penanda pada apa yang tak terlihat oleh mata, menembus ruang dan sekat-sekat masa depan, menghadirkan dan melenyapkan. Begitulah kekuatan sebuah kata.

Demikian prakata yang dapat saya tulis. Jika saya boleh meminjam cemburu Aisyah pada Khadijah, maka engkaulah Khadijah yang kucemburui sekalipun kita tak bermadu dalam semasa.

Tabarakallah, salam dan do’a untuk Mbak Iah, :)

                                                         

                                                           Wassalam

                                                           Siti Zahrotun Nisa BintZein

Tidak ada komentar:

Posting Komentar